Penulis Sukses: Jejak Pantun dan Syair
Oleh Matdon
Di
harian Kompas edisi 3 Mei 2015 halaman 27, saya membaca sebuah tulisan Maman S
Mahayana berjudul Dinamika Pantun dan Syair. Dia mempertanyakan, ”Benarkah kini
reputasi pantun seolah-olah terkubur dan digunakan sekadar untuk guyonan,
ledek-ledekan atau dikatakan Matdon: nyaris menjadi fosil sastra? Sesungguhnya
tidak juga begitu. Matdon mengambil contoh pantun profan(?). Meski dikatakannya
dari mereka yang tak paham aturan, pantun tak mengenal dikotomi profan dan
sakral. Sementara sinyalemen STA, saya tempatkan dalam konteks semangat zaman.
Ketika itu, majalah Pujangga Baru memuat begitu banyak puisi para penyair kita
yang dikatakan baru, modern, bebas, individualistik, penuh semangat, dan
merefleksikan suara sukma”.
Saya
hanya ingin mengatakan bahwa pantun dan syair adalah jejak sastra lama, fungsi
dan peranannya nyaris terlupakan, nyaris menjadi fosil sastra. Terdesak oleh
kebutuhan sastra kontemporer, sastra industri, dan tetek bengek kemodernan.
Meski nasibnya masih beruntung tidak seperti halnya gurindam dua belas, mantra,
dan jenis puisi lama lainnya juga nyaris menjadi fosil sastra.Ada dua buku
kumpulan pantun dan syair yang saya baca dalam beberapa tahun terakhir ini,
yakni buku kumpulan syair dan pantun Bual Kedai Kopi karya Suryatati Manan dan
Martha Sinaga, dan buku kumpulan Pantun Asal2an Ala Bang Sofyan karya wartawan
senior Sofyan Lubis.
Membaca
Bual Kedai Kopi, di sana saya meliat gambaran estetika Melayu yang unik dan
klasik serta memiliki daya tarik yang asyik. Lokalitas kata bual menggambarkan
realitas tradisi masyarakat sejumlah daerah yang disebut sebagai warisan budaya
Melayu (Riau, Jambi, Padang, dan lainnya); budaya ngobrol, sekadar bincang-bincang
santai—membicarakan apa saja. Konsep
kata bual pada awal judul buku ini membuat sastra memiliki pijakan sebab karya
sastra yang ”menyadari” estetika lokal akan memperkaya bahasa Indonesia. Karena
diakui atau tidak, saat ini pantun dianggap sebagai sastra lokal yang
berkembang di sejumlah daerah tertentu saja, padahal pantun adalah
”teks/bahasa/sastra” lisan warisan nenek moyang hampir di seluruh Tanah Air.
Artinya, bukan (lagi) sastra lokal meskipun pada akhirnya pantun di sejumlah
daerah akan berbeda cara ungkapnya.
Milik
Melayu. Pantun
sering dianggap sebagai milik orang Melayu saja (orang awam menyebut Melayu
adalah orang yang lahir dan hidup di luar Pulau Jawa). Padahal istilah bahasa
Melayu mencakup sejumlah bahasa yang saling bermiripan di seluruh wilayah
Nusantara dan di Semenanjung Melayu, bahasa Melayu sendiri menjadi bahasa resmi
di Brunei, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Dan digunakan juga di Sri Lanka,
Thailand selatan, Filipina selatan, Myanmar selatan, sebagian kecil Kamboja,
hingga Papua Niugini. Karena
pantun berasal dari sastra lisan dan seperti kebanyakan sastra lisan lainnya,
pantun menjadi sangat ”istimewa” sehingga banyak yang menjadikan pantun sebagai
bahasa yang susah dan rumit. Jangan heran kalau buku
kumpulan pantun tak sebanding dengan lahirnya buku-buku puisi modern dan
buku-buku puisi angkatan penyair Facebook.
Lalu
pada buku pantun yang ditulis oleh wartawan senior H Sofyan Lubis berjudul
Pantun Asal2an Ala Bang Sofyan terbitan PT Elfiendha Media Jakarta setebal 130 halaman,
saya melihat kekacauan yang serius, halaman 6 buku ini tertulis pantun: Waktu kecil puasa disuruh/Waktu remaja puasa
separuh/Patut kita membersihkan diri/Tolong maafi kesalahan kami (halaman 72).
Buku
ini, menurut Bang Sofyan, diniatkan untuk ”memperpanjang” nyawa pantun agar
disenangi kaum muda. Namun, apa jadinya jika buku ini kemudian tak memiliki
konsep pantun yang benar. Saya kira, kesalahan konsep dalam pantun tidak lebih
baik ketimbang pantun profan. Pembacaan
pantun di acara-acara besar pernikahan, pertemuan budaya, dan atau pertemuan
lainnya hanyalah sebagai pelengkap penderita. Saya
jarang sekali menyaksikan pantun dibacakan secara improvisasi di sembarang
tempat. Berbeda dengan puisi, di mana orang akan bebas membaca kapan dan di
mana saja (bukan hanya pada acara resmi, sering saya saksikan dan lakukan di
Bandung bersama kawan-kawan), walaupun sebetulnya puisi (modern) juga di acara
formal hanya menjadi pelengkap acara.
Namun,
sebenarnya beruntung pantun hingga saat ini masih banyak dipakai oleh kalangan
muda meskipun penggunaannya hanya sekadar untuk main-main ataupun hiburan
(paling tidak dalam lima tahun terakhir, baik di tayangan televisi maupun
pergaulan sehari-hari), bahasa mereka pun disesuaikan kondisi zaman sekarang.
Sakralitas pantun yang dilontarkan para pelawak secara spontan di tayangan
televisi memang sudah rusak, tidak memperhatikan kaidah sampiran dan isi.
Misalnya para pelawak sering berpantun ”Hei penonton…. Makan kentang di atas
genteng bawa pistol, jangan mentang-mentang muka lu ganteng, padahal tiap hari
lu cuma tukang dagang ikan jengkol”.
Ini
tentu saja pantun ngaco, tapi pantun yang ada di televisi itu menjadi penanda
bahwa pantun masih tetap ada dan disukai, lepas dari apakah mereka menyadari
atau tidak bahwa pantun yang mereka pakai itu benar atau tidak, sebab yang
mereka cita-citakan hanyalah tawa penonton. Dengan
demikian, telah muncul fenomena pantun profan dan berkembang di pergaulan
masyarakat modern. Meski pantun ”jenis baru” ini keluar dari pakem pantun,
keberadaannya lebih komunikatif di kalangan anak muda. Bahkan sejalan dengan fungsi
pantun pada dasarnya. Pantun profan ini kerap pula menjadi media komunikasi
rekreatif yang menghibur.
Kelemahan
pantun profan dalam pergaulan dan tayangan televisi adalah isinya tidak lagi
berpuncak kepada nilai-nilai luhur budaya. Akibatnya, pantun menjadi barang
mainan, kehilangan fungsi dan maknanya yang hakiki, yakni sebagai media untuk
memberikan pengajaran serta pewarisan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Jadi
fenomena pantun profan di sisi lain harus disyukuri, tapi di sisi lain hal ini
merupakan realitas yang cukup memprihatinkan karena kegagalan mengomunikasikan
nilai-nilai luhur dalam pembacaan pantun dan akan mereduksi pantun hanya
sekadar permainan kata-kata dan hiburan penyemarak suasana.
Agak
sulit jika fenomena ini dianggap sebagai sesuatu yang harus direvitalisasi,
lalu siapa yang harus melakukan revitalisasi? Pemerintah atau sastrawan?
Pemerintah tentu saja terlalu sibuk mengurus kekuasaan dan politik melebihi
kesibukan para malaikat.Jika sastrawan harus melakukanrevitalisasi caranya seperti
apa? Karena arus budaya bahasa tak mungkin bisa dibendung, bahasa adalah ruang
paling wadag bagai manusia, ia tak mungkin bisa dilarang untuk tidak
berkembang. Pertanyaan saya
berlanjut, apakah suatu hari kelak fenomena pantun profan ini akan menjadikan
pantun sebagai fosil sastra/bahasa akibat pengaburan identitas pantun itu
sendiri? Dengan catatan bahwa sebuah peradaban yang dibangun tanpa berlandaskan
kepada nilai-nilai kulturalnya adalah peradaban semu dan rapuh. (Sumber :
Kompas, 9 Austus 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar